Gara-gara ingin mempunyai seorang anak, sepasang suami isteri yang sudah belasan tahun menikah rela bersekutu dengan genderuwo. Namun akhirnya, penyesalan jualah yang mereka dapatkan....
Kisah mistis ini dialami oleh paman dari sahabat Penulis, yang bertempat tinggal di daerah Blitar, Jawa Timur. Demi melindungi nama baik mereka, sahabat penulis meminta supaya nama pelaku disamarkan. Berikut ini adalah kisah mistis lengkap mereka...:
Setelah tiga belas tahun menikah, Ngadiyono dengan Sulastri belum juga dikaruniai seorang anak. Sudah tak terhitung banyaknya dokter ahli kandungan yang mereka datangi demi mewujudkan impian mereka memiliki momongan. Bahkan puluhan orang pintar pun telah mereka sambangi demi mimpi yang sama. Namun semua usaha yang melakukan lakukan belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Karena mimpi yang mereka dambakan tak juga terwujud jadi nyata, pasangan suami isteri Ngadiyono dan Sulastri pun tenggelam dalam rasa keputusasaan, bahkan akhirnya hanya bisa pasrah terhadap nasib. Hingga suatu ketika datanglah salah seorang paman Sulastri yang bernama Pakde Ngatmin yang berasal dari Kediri. Kepada Pakdenya, Sulastri dan Ngadiyono menceritakan keresahan yang mereka alami.
Setelah mengetahui penderitaan yang dialami oleh keponakannya, Pakde Ngatmin memberitahukan bahwa ada suatu tempat kramat di wilayah Jawa Timur yang mungkin saja bisa mewujudkan impuan mereka. Tempat semacam punden kuno.
"Banyak orang minta berkah di tempat kramat ini agar mempunyai anak. Menurut cerita yang Pakde dengar, kabarnya banyak yang berhasil," tegas Pakde Ngatiman.
Walaupun Pakde-nya telah membicarakan kekeramatan punden tersebut, Ngadiyono sama sekali tidak tertarik. Pikirnya, dokter dan orang pinter saja sudah dia datangi dan tak berhasil, apalagi hanya sebuah tempat keramat. "Mustahil!" bantahnya dalam hati.
Karena omongannya tak ditanggapi oleh Ngadiyono, Pakde Ngatmin malah membujuk keponakannya, Sulastri, agar mau bertirakat di punden kramat tersebut, dan mohon kepada yang mbaurekso agar bisa diberi momongan anak.
"Apa kamu tidak ingin punya keturunan, sedangkan usia perkawinanmu sudah belasan tahun. Kalau suamimu tidak mau biar kamu saja yang tirakat disana. Nanti alamatnya Pakde kasih tahu," bujuk Pakde Ngatiman.
Mendengar bujukan dan nasehat pamannya itu, Sulastri mulai tergoda. Sebagai wanita dia sudah tentu ingin sekali mempunyai anak keturunan.
Demikianlah, detelah Pakde-nya pulang ke Kediri, Sulastri membicarakan keinginannya untuk bertirakat di punden keramat tersebut kepada suaminya. Namun, Ngadiyono menolaknya dengan alasan dokter dan paranormal saja tak banyak membantu apalagi tempat keramat. Lagi pula dia takut terjebak kemusyrikan dengan memuja sebuah tempat keramat.
"Lebih baik pasrah dan berdoa saja kepada Tuhan!" tegas Ngadiyono membuat isterinya terdiam.
Namun Sulastri tidak berputus asa. Keinginannya yang sangat kuat untuk mempunyai anak memaksanya untuk terus menerus mendesak suaminya agar mau menemaninya bertirakat di punden keramat tersebut.
Ngadiyono yang semula bersikukuh tetap menolak ajakan isterinya akhirnya luluh hatinya, ketika Sulastri memintanya dengan linangan air mata. Dia tak tega melihat isterinya bersedih.
Akhirnya, dengan berat hati Ngadiyono menyetujui usulan isterinya untuk bertirakat di punden keramat tersebut. Setelah mendapat cuti dari tempat kerjanya Ngadiyono beserta isterinya pergi menuju Jawa Timur. Mereka mampir ke rumah pamannya yaitu Pakde Ngatmin untuk dimintai alamat serta denahnya.
Setelah menginap semalam di rumah Pakde-nya, keesokan paginya mereka berdua menuju ke punden keramat tersebut. Di dalam perjalanan mereka mengira tempat yang akan mereka kunjungi adala sebuah makam keramat, namun ternyta bukan. Punden tersebut hanya sebuah onggokan batu besar yang sekelilingnya terdapat pohon-pohon besar dan tua yang menyeramkan.
Singkat cerita, setelah mendapat wejangan dari juru kunci punden, mereka berdua diharuskan tirakat di tempat tersebut dengan membakar kemenyan. Ini dilakukan selama semalaman.
Mereka berduapun menyanggupi persyaratan tersebut. Dan malam itu juga mereka melakukan ritual pemujaan di punden keramat itu. Bersama malam yang kian larut, mereka berdua pun ikut larut dalam semedi yang kian khusuk. Dinginnya malam dan semilir angin menerpa tubuh mereka. Ada perasaan takut dan ngeri di hati mereka. Namun karena tujuan telah bulat, maka perasaan itu pun mereka buang jauh-jauh.
Di tengah keheningan malam itu, mata Ngadiyono seakan mulai meredup dan tak sanggup menahan rasa kantuk yang amat sangat. Secara tak sadar dia pun mulai tertidur pulas, sementara Sulastri masih asyik dengan semedinya. Entah apa yang terjadi....
***
Beberapa bulan setelah melakukan ritual pemujaan di punden keramat, aneh bin ajaib, Sulastri memang hamil. Dia merasa sangat bahagia, begitu pula dengan Ngadiyono. Ya, mereka bedua merasa bahagia karena impian untuk mempunyai keturunan akan terwujud menjadi kenyataan. Tapi dibalik rasa bahagia itu hati Sulastri sebenarnya bergidik menahan ngeri bila mengingat peristiwa malam itu. Inilah kejadian yang sebenarnya...:
Tatkala suaminya tertidur pulas malam itu, dia didatangi sosok makhluk hitam tinggi besar. Makhluk seram itu mendatanginya dengan senyuman yang menyeringai. Namun entahlah, Sulastri bagaikan terhipnotis oleh senyuman makhluk itu.
Dan yang lebih aneh lagi, Sulastri diam saja ketika makhluk hitam seram itu menggumuli dan menikmati tubunya. Saat itu juga makhluk itu berkata sambil berbisik lirih, "Sulastri, aku akan menitiskan anakku ke dalam rahimmu!"
Sulastri diam membisu. Dia bahkan begitu bergairah dengan permainan makhluk yang sangat menjijikan itu.
Begitulah. Sulastri sengaja merahasiakan peristiwa tersebut kepada suaminya. Dia takut Ngadiyono marah besar bila mendengar cerita ini. Ya, siapa sih yang rela isterinya disentuh oleh orang lain, terlebih berwujud makhluk menyeramkan.
Hari demi hari berlalu, hingga tak terasa usia kandungan Sulastri mencapai sembilan bulan lebih. Semestinya, sang jabang bayi sudah berkendak dilahirkan ke dunia. Namun, memang aneh, hingga usia sepuluh bulan tanda-tanda kelahiran itu belum juga nampak.
Karena merasa takut ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada diri isterinya, Ngadiyono segera memeriksakan kandungan Sulastri ke dokter spesialis kandungan. Menurut hasil pemeriksaan dokter, tak ada kelainan yang dialami Sulastri maupun bayi yang di kandungnya. Janin itu masih dalam keadaan sehat dan tak perlu merasa khawatir dengan keterlambatan persalinan.
Merasa tidak puas dengan jawaban dokter, Ngadiyono membawa isterinya ke dukun beranak. Setelah diperiksa, hasilnya pun sama, yaitu Sulastri dan anak yang dikandungnya masih dalam keadaan sehat.
Di usia kandungannya yang memasuki bulan ketiga belas, Sulastri merasa purutnya amat mules. Karena keadaannya mendesak Ngadiyono tak sempat membawa isterinya ke rumah sakit, namun dia segera membawa isterinya ke dukun beranak yang berada dekat sekitar rumahnya.
Menjelang tengah malam, hati Ngadiyono merasa resah dan tak menentu menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa saat kemudian terdengar tangisan seorang bayi dari arah dalam kamar. Kemudian disusul suara jeritan rasa kesakitan dan suara itu berasal dari suara dukun beranak.
Karena merasa penasaran, Ngadiyono segera masuk menuju kamar bersalin itu. Namun, betapa kagetnya dia saat itu. Apa yang terjadi? Ngadiyono menyaksikan sesosok bayi berwarna hitam legam dengan ditumbuhi bulu yang lebat tengah menyedot darah yang keluar dari leher si dukun beranak. Sementara itu Sulastri nampak jatuh pingsan.
Merasa ketakutan, saat itu juga, Ngadiyono berteriak meminta pertolongan. Demi mendengar teriakan itu makhluk kecil itu menatap Ngadiyono dan berkata, "Ngadiyono aku bukan anakmu, tapi aku adalah titisan genderuwo, yang dititiskan melalui isterimu!"
Makhluk itu tertawa menyeringai, kemudian berlari melompat jendela yang terbuka dan menghilang.
Beberapa lama kemudian, masyarakat yang mendengar teriakan Ngadiyono pada berdatangan. Mereka semua terkejut mendapati dukun beranak yang telah mati mengenaskan, dan merasa heran demi mendapati Sulastri yang tengah pingsan sehabis melahirkan. Begitu pun dengan Ngadiyono yang terkulai lemah di atas lantai, tak sadarkan diri.
Sebagian dari para tetangga itu segera mengurus jenazah si dukun beranak, dan sebagian lagi segera membawa Sulastri ke rumah sakit.
Seminggu setelah kejadian itu, keadaan Sulastri mulai membaik. Sambil berurai air mata dia menceritakan pengalaman seramnya ketika berada di punden keramat sewaktu suaminya tertidur. Ngadiyono menyimak dengan batin yang perih.
Sulastri menyesal dengan kejadian itu dan meminta maaf kepada suaminya. Ngadiyono pun memaafkan isterinya dan berusaha agar sabar menahan cobaan.
Mungkin memang Tuhan belum mengizinkan atau belum memberi mereka keturunan. Yang terpenting mereka berdua harus memohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerena mereka telah melakukan kemusyrikan dengan melakukan pemujaan di punden keramat tersebut.