Malam itu, Susi (18) bersama tujuh wanita lainnya terjaring operasi yang dilakukan petugas gabungan Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua Bogor.
Sejak awal, gadis belia berkulit putih dan berambut panjang ini kekeuh menolak ditangkap petugas dan dituding menjajakan diri. "Saya baru pulang jalan-jalan sama temen di Cipanas. Siapa bilang saya mau jual diri," ucapnya.
Namun akhirnya, meluncur pengakuan dari mulutnya kalau dia diamankan saat sedang berduaan bersama seorang pria asal Timur Tengah.
Yang mengejutkan, ternyata Susi pernah melakoni kawin kontrak hingga sebelas kali. Kawin kontrak sebanyak itu dilakukan dengan sejumlah pria asal Timur Tengah selama delapan bulan.
Dengan suara sedikit berat, gadis asal Cijantung, Jakarta Timur ini memaparkan kisah hidupnya.
“Saya mulai terjun ke ‘dunia hitam’ sejak masih berusia 17 tahun. Saya menikah dengan suami saya cuma setahun. Setelah itu saya bercerai," ucapnya.
Pernikahan terpaksa dilakukan saat Susi masih duduk di kelas III SMP di Jakarta. Pernikahan itu pula yang kemudian membuat Susi berhenti dari sekolahnya tiga bulan sebelum ujian nasional SMP.
Keagalan rumah tangganya membawa pengaruh besar bagi kehidupan Susi. "Sekolah berhenti, dan suami saya pergi begitu saja. Siapa coba yang enggak stres," ujarnya.
KEPEPET EKONOMI
Kondisi Susi makin memburuk ketika ayahnya kehilangan motor kesayangannya. Padahal, motor Honda Supra Fit warna hitam yang hilang saat diparkir di rumahnya tersebut merupakan sumber mata pencarian sang ayah, yang hasilnya digunakan untuk kebutuhan keluarga.
"Ayah saya ngojek di Jakarta, tetapi kemudian berhenti karena motornya hilang," urai Susi.
Sebagai anak pertama dengan dua adik yang masih kecil dan melihat kondisi keluarga yang butuh biaya, Susi merasa perlu ikut bertanggung jawab.
"Awalnya saya kerja di toko, tetapi berhenti karena enggak betah. Udah gitu gajinya kecil. Saya punya adik dua-duanya masih sekolah, kelas 6 dan kelas 4 SD," katanya berdalih.
Hingga suatu malam, Susi bercerita kepada teman perempuannya yang juga teman saat masih sekolah melalui fasilitas jejaring sosial.
"Awalnya saya chatting sama teman. Saya butuh kerjaan dan butuh uang," ujarnya.
Selang beberapa hari, Susi bertemu temannya di suatu tempat. "Saat itu langsung dikenalin sama mami (germo). Awalnya saya menolak karena tahu kerjaannya bakal seperti apa. Pasti disuruh jadi pekerja seks komersial (PSK)," katanya.
Susi kembali menjadikan kebutuhan ekonomi sebagai alasan untuk secepatnya mendapatkan uang.
Kerasnya kehidupan di Jakarta dengan biaya hidup yang menurut Susi tidak murah membuatnya memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang.
Meski awalnya Susi menolak untuk terjun ke ‘dunia hitam’, akhirnya dia terlena dengan bujuk rayu dan iming-iming dari seorang germo di bilangan Jakarta.
"Cari uang susah. Mau ngelamar kerja, ijazah cuma SD, siapa yang mau terima," ucapnya.
Akhirnya pertengahan Oktober 2012, Susi pun mulai menggeluti dunianya sebagai istri kontrak dengan suami pria asal Arab.
Menurut Susi, para Onta—sebuatan untuk turis Arab, yang datang ke Indonesia, khususnya di Jakarta, akan selalu mencari perempuan lokal untuk dijadikan istri. Selama menetap di suatu tempat di Indonesia, mereka butuh penyaluran seks.
"Namun mereka enggak mau pelacuran, makanya mereka cari perempuan yang mau jadi istri sementara," katanya.
Selain bayaran yang mahal dan tidak perlu repot menjajakan diri di pinggir jalan raya, Susi merasa bahwa perbuatannya tidak melanggar. Perempuan bertinggi badan sekitar 156 cm ini begitu marah saat disebut sebagai PSK.
Setiap kali dia menjadi istri dalam kawin kontrak dengan pria Timur Tengah, bayaran yang diterima Susi bervariasi.
"Itu tergantung lamanya sampai kapan. Kalau sepuluh hari bayarnya Rp 7 juta. Namun kalau cuma dua hari paling Rp 700.000 sampai Rp 1 juta," katanya.
Dari bayaran sebanyak itu, dia hanya mendapat separuh sebagai istri kontrak. "Bayarannya dibagi dua sama germo saya. Saya cuma dapat setengahnya," ucapnya [syah]
m.jakartapress.com