Kota Solo di bawah Walikota Joko Widodo kembali mendapat penghargaan internasional. Penghargaan dari Kemitraan Pemerintahan Lokal Demokratis Asia Tenggara (Delgosea) ini atas keberhasilan Solo melakukan relokasi yang manusiawi dan pemberdayaan pedagang kaki lima.
"Setelah empat tahun pemberdayaan, Solo berhasil memecahkan isu sensitif pedagang kaki lima dan semua efeknya atas ruang publik, sampah, kemacetan dan kemiskinan," begitu ringkasan bunyi penghargaan yang bernama resmi "Best Practice" itu.
Relokasi dan pengaturan pedagang kaki lima ini, menurut Delgosea, berlangsung dengan memperhatikan budaya setempat dan metode yang manusiawi. "Wali Kota meyakinkan pedagang kaki lima bahwa upaya ini akan meningkatkan kondisi mereka, bukan menghancurkan bisnis mereka," seperti diterangkan di laman resmi Delgosea.
Dan manajemen pedagang kaki lima ini sebelumnya diawali dengan pembentukan tim teknis dan nonteknis. Tim teknis mencari lokasi bagus untuk pedagang kaki lima, pengaturan lalu lintas dan lain-lain, sementara tim nonteknis untuk menghadapi respons balik dari pedagang atau warga.
Dalam empat tahun, program ini berhasil berjalan. Bekas kawasan pedagang kaki lima kini jadi ruang terbuka hijau, dan muncul dua pasar baru untuk menampung pedagang kaki lima.
Sebelumnya Jokowi juga masuk nominasi Wali Kota Terbaik Dunia 2012 yang digelar World Mayor Prize. Desember 2011, Jokowi juga mendapat penghargaan Wali Kota Terbaik dari Menteri Dalam Negeri.
Bukan Solo sendiri yang mendapat penghargaan dalam Konferensi yang digelar di Bangkok dari 7-8 Agustus 2012 ini. Ada 16 kota atau kawasan di Asia Tenggara yang mendapat penghargaan untuk berbagai macam "Best Practice". Dari Indonesia, yang dapat penghargaan lainnya adalah Kota Yogyakarta dan secara bersama Yogyakarta, Sleman, dan Bantul atas Best Practice "Kerjasama antarpemerintah daerah."
Delgosea diluncurkan pada Maret 2010 lalu, dibiayai Komisi Eropa dan Kementerian Kerjasama Pembangunan Jerman. Delgosea merupakan kerjasama pemerintah lokal, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga akademik dari Filipina, Indonesia, Vietnam, Thailand dan Kamboja yang bertujuan untuk saling menukar best practice di masing-masing lokal. Viva.Co.id
http://www.zona-kita.com/2012/08/jokowi-kembali-raih-penghargaan.html
GABUNG Halaman Facebook saya
Info Menarik KKK Blogger's
Dengan mengklik Tombol SUKA dibawah ini
Di atap Jiutian International Plaza kota Zhuzhou, provinsi Hunan, nampak 4 buah villa berdiri kokoh di sana.
Rumah villa lazimnya dibangun di atas tanah lapang di daerah pegunungan atau pantai, tapi tidak di tempat satu ini. Sebuah mal di kota Zhuzhou, provinsi Hunan, memiliki tambahan menarik di atapnya. alih-alih landasan helikopter atau taman, ada 4 villa bertengger di atas atapnya.
Bangunan megah dengan atap biru itu berdiri kokoh di atap Jiutian International Plaza yang terkenal sebagai pusat grosir. Semula tidak ada yang mengetahui keberadaan villa tersebut karena berada di puncak mal berlantai delapan ini. Hanya beberapa warga lokal di sekitar sana yang menyadari dan cukup terkejut karena tidak percaya bangunan itu benar-benar ada.
Zhuzhou adalah kota terbesar kedua di provinsi Hunan, China, yang memfokuskan diri pada industri metalurgi, pembuatan mesin, bahan kimia dan bahan bangunan. Di sana memiliki populasi hampir 4 juta warga. Diantaranya lebih dari 800 ribu tinggal di empat kota kabupaten.
Belum diketahui bagaimana dan kenapa villa itu dibangun di atap mal. Begitupun dengan ada tidaknya atau siapa yang tinggal di vila tersebut. Kira-kira senyaman apa ya tinggal di villa itu?(wk/mr)
GABUNG Halaman Facebook saya
Info Menarik KKK Blogger's
Dengan mengklik Tombol SUKA dibawah ini
tiraimaya.com - Jakarta Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Inilah kampung pengemis.
Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka berasal dari Indramayu, Jawan Barat.
Dulunya kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong. Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun menggantikan tanaman singkong. “Sampai sekarang meski perkebunan singkong sudah tidak ada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,” kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.
Seiring perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan ramai. Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli "danger" sebab banyak residivis yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini.
Selain dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan berkurang. Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis. Mereka adalah warga Indramayu.
“Setiap bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini mengontrak rumah," ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan Jatinegara.
Tarif kontrakan milik Hanson bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah yang ukurannya 3x6 meter dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan. Untuk petakan yang di atas yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang dikenakan Rp 150 ribu- Rp 250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya listrik.
"Biar pengemis mereka bayar kontrakan selalu tepat waktu. Dan mereka membayar dengan uang pecahan seribuan hasil mengemis. Sudah diiketin duitnya sama mereka," celetuk Hanson sambil tersenyum.
Di Kebon Singkong, terdapat ratusan kontrakan yang dihuni para pengemis. Kalau bulan puasa tiba, jumlahnya makin banyak lagi. Sekitar 200-300 orang menyusul datang.
Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan mereka rata-rata per hari bisa dibilang lumayan. Mereka bisa mendapatkan uang paling kecil Rp 200 ribu per hari.
"Seorang pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari," ujar Hanson.
Omongan Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu seorang nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku kehilangan celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan jumlahnya Rp 900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya.
"Bayangin aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu. Kalau sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek," kata pria asal Medan itu.
Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.
Hanson mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong.
Alangkah terkejutnya Hanson karena ternyata rumah mereka di kampung besar dan rapi. Bahkan saat dia bertamu melihat perabotannya sangat wah. "Kamar mandi saja ada bathtubnya. Malah ada yang punya kolam renang segala," kata Hanson takjub.
Dari situlah Hanson dan sejumlah warga di Kebon Singkong maklum mengapa dari waktu ke waktu, warga dari Indramayu banyak berdatangan. Mereka ingin mengikuti jejak saudara atau tetangganya yang bisa hidup wah di kampung hanya dengan mengemis.
Nuki Senan, juga warga setempat, menjelaskan para pengemis yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, cacat dan anak-anak. Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa apalagi dalam kondisi normal dapatnya sedikit. "Dapat Rp 30 ribu per hari saja sudah syukur," ujar Nuki.
Jangan heran jika orang-orang dewasa berasal dari desa tempat tinggal pengemis lebih menggantungkan ekonomi kepada anak-anaknya. Mereka disuruh mengemis. Hanya orang dewasa yang cacat yang justru mencari uang sendiri karena kondisi itu akan menerbitkan empati.
Demi mendapat empati, maka banyak orang buta di Kebon Singkong tidak mau diobati. Mobil-mobil pelayanan penyakit katarak yang sempat datang ke daerah itu selalu sepi peminat. "Mereka (orang buta) tidak mau diobati. Sebab kebutaan mereka anggap sebagai aset untuk mengemis. Begitu juga yang cacat," ujar Nuki.
Begitu berharganya orang buta di kalangan pengemis sampai-sampai antar sesama pengemis sering berselisih. Mereka berupaya mendapatkan mobil, ini merupakan istilah untuk orang buta yang mengemis. Terkadang terjadi persaingan harga sewa bagi pengemis buta ini.
"Di sini pengemis buta banyak yang beristri lebih dari satu orang. Mereka (orang buta) jadi rebutan karena dianggap sebagai aset untuk dapat uang," terangnya. Sekalipun wilayahnya banyak dihuni para pengemis, namun warga setempat yang bukan pengemis tidak merasa terganggu bila dicap sebagai kampung pengemis. Pasalnya, warga bisa ikut meraup berkah dari para pengemis itu. Paling tidak, kata Nuki, warung atau rumah petakan jadi laku.
Hubungan simbiosis mutualisme antara pengemis dan warga membuat hubungan bertetangga di Kebon Singkong berjalan harmonis. "Mereka tidak banyak berulah karena mereka kebanyakan menghabiskan waktunya di luar. Datang ke kontrakan hanya untuk istirahat saja," pungkasnya.
Read more: http://www.tiraimaya.com/2012/08/mengemis-di-kota-hidup-mewah-di-desa.html#ixzz23bQojXqG
GABUNG Halaman Facebook saya
Info Menarik KKK Blogger's
Dengan mengklik Tombol SUKA dibawah ini