Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu 
sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan 
betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan 
Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan 
hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin 
dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan
 hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari 
dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan
 kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi,
 bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh 
rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya 
itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!
Kehidupan
 rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang 
pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat 
menyayangi ketiga anaknya.
Suatu
 saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja, ketika 
itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja 
dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. 
Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi 
di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan 
itu berawal.
Ya,
 tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami 
Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan 
ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis
 mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. 
Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih 
menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering 
sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin 
karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, 
terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai "anak yang akan
 memiliki banyak keajaiban," sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo 
mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip 
sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. 
Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski
 biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) 
dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang 
diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha 
kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota 
Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil 
Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, 
kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan 
penangangan gawat darurat.
Kami
 hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim 
libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga 
memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping
 ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan 
kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit 
Bambang.
Manusia
 hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang 
terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati 
liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara 
alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang 
menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan
 ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa 
berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang
 semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang 
masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia 
pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, 
sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian
 si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. 
Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang 
tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun 
sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti 
jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam 
kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah 
selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang 
untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan 
swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di 
rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu 
baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, 
bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini 
memilih pindah sekolah.
Sejak
 kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat 
pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku
 juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini 
pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup 
mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih 
sangat labil.
Lima
 bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin 
mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 
sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari 
Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan 
ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata 
mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah 
mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita
 ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo 
mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta 
pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi 
dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian 
gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih 
menjanjikan?
Setumpuk
 pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima 
berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak 
pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi
 nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang 
mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana
 perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia 
telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih
 membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama untuk 
pendidikannya.
Di
 tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut
 saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan 
Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri
 mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga 
sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik 
sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana
 ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian 
drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia 
lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah 
dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku 
yang mentraktirnya.
Melihat
 Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat 
iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. 
Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke 
rumahnya.
Ketika
 aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. 
Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah 
menurut ukuranku.
"Kemana suamimu, Yul?" tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. "Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!" katanya.
Mendengar
 jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah 
sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera 
menyambung penjelasannya.
"Suamiku
 selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini 
keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering 
meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua 
anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, 
beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. 
Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?"
Karena
 ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling 
kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, 
sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.
Ia
 berkata setelah menyimak ceritaku, "Aku ini tetap sahabatmu, Retno. 
Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah 
kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan 
mempercayainya?"
"Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?" aku balik bertanya.
"Kau harus kawin dengan genderuwo!"
Betapa
 terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. 
Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang 
Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah
 bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya 
sambil tersenyum, "Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti 
menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! 
Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara 
Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu 
secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau 
bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada 
tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana
 melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah 
merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia 
menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa 
menjalankan ibadah."
Setelah
 mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk 
mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat 
susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah 
berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. 
Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua 
anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai
 ke perguruan tinggi.
Dengan
 kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk 
mengantarkanku ke rumah "orang pintar" yang katanya sudah biasa memandu 
ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat
 cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, 
paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah 
mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh 
Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk 
mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana
 lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia 
membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar
 juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi
 perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, 
wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa 
cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki 
Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam 
prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus 
penghulunya.
Karena
 mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul 
pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, 
meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang
 juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik
 di telingaku, "Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung 
mendapatkannya!"
Tampan?
 Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama 
sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa
 melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?
Aku
 tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya 
membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat 
ketika di malam Jum'at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin 
menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan 
Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan 
dimulai persis pada malam Jum'at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, 
setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan
 memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang 
lebih dari mencukupi.
Persis
 di malam Jum'at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada 
orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore 
sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku 
menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah 
ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang
 pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. 
Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci 
rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.
Sesuai
 dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang 
diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup 
menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang 
menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang
 pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai 
lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas 
ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, 
antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam
 kamarku.
Aneh
 sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik 
dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas 
wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin 
berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan 
pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah
 lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi 
suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah 
bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah 
membohongiku?
Berbagai
 pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil
 memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya 
menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya 
seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu 
kekuatan gaib.
Dengan
 sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu.
 Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang 
tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, 
bibir dan daguku.
Sejekap
 kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar 
melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. 
Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu 
mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.
"Tolooong…!!"
 Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai 
tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.
Tangan
 pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya 
membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang 
memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja 
hilang kesadaran.
Tetapi,
 Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja
 mulutku berucap dengan lantang, "Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula 
Walaa Kuwwata Illah Billah…!!"
Ya,
 sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi 
di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak
 saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang
 keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku 
yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari 
tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.
"Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!"
Pujian-pujian
 itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama 
seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi 
bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.
Tak
 lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil 
memanggil-manggil "mama". Ketika pintu kubuka mereka langsung 
berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
"Apa yang terjadi, Ma?" tanya Angga, anak sulungku.
Aku
 hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras 
membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini 
kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak 
ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan
 menanggung kesusahan hidup….
Siang
 setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang 
menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.
"Biarlah
 kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan 
ritual kawin dengan genderuwo itu," kataku setelah mendengar penjelasan 
Yulianah.
Meski
 mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. 
Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta 
bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah
 berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit 
apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi 
terhadap diriku.
Ketika
 kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak 
terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, 
aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib 
itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan 
menagih malam pertamanya padaku.
Kenyataan
 tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah 
kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk 
menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan 
dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan 
barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga
 menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat 
memberikan solusi yang terbaik bagiku….
Tanggapan:
AMALAN DOA MAHA REZEKI
Pengalaman
 hidup Mbak merupakan pelajaran yang sangat berarti. Karenanya jangan 
pernah meningalkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar tidak 
tergelincir dan terhindar dari bujukan setan.
Ada
 beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar usaha kita selalu lancar, 
antara lain: Memperbanyak membaca istighfar, rajin bersedekah. 
Memperbanyak jalinan silaturahmi. Isthiqomah melaksanakan solat dhuha. 
Tawakal dari segala urusan, dan senantiasa meningkatkan kualitas takwa 
serta selalu berdoa.
Nah,
 pada kesempatan yang berbahagia ini saat akan ijazahkan khusus buat 
Mbak sebuah amalan yang disebut dalam Ilmu Hikmah sebagai Doa Maha 
Rezeki. Doa ini telah dibuktikan dan diamalkan oleh para auliya dan 
sholihin terdahulu dalam rangka untuk menarik rezki yang banyak lagi 
halal (tentunya dibarengi dengan usaha lahiriyah), serta dijauhkan dari 
segala macam bentuk kemiskinan dan kepapaan.
Cara mengamalkannya:
1. Malam hari setelah shalat Isya' atau lebih baik lagi pada tengah malam, lakukanlah salat hajat 2 rakaat atau 4 rakaat.
2. Bacalah salawat nabi ini sebanyak 1000x: ASSHOLATU WASSALAMU 'ALAIKA WA AALIKA YA SAYIDI,
YA ROSULALLAH, AGITSNI SARI'AN BI'IZZATILLAH.
(Artinya:
 Rahmat serta keselamatan semoga tetap uhtukmu dan keluargamu, wahai 
junjungan kami, wahai utusan Allah, tolonglah aku segera dengan 
kemuliaan Allah).
3.
 Setelah itu bacalah doa ini dengan penuh kekhusukan sebanyak 7 kali 
atau lebih (Sebaiknya hitungan ganjil, karena Allah menyukai yang 
ganjil): BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM. ALLAAHUMMA ROBBANAA ANZIL 'ALAINA 
MAA IDATAM MINAS SAMAAI TAKUUNA 'IIDAN LI-AWWLAINAA WA AAKHIRINAA WA 
AAYATAN MINKA WARZUQNAA WA ANTA KHOIRUR ROOZIQIIN, ALLOOHUMMA IN KAANA
RIZQUNAA
 FIS SAMAA-I FA ANZILHU WA IN KAANA FIL MAAI WAL BAHRI FA ATHLFHU WA IN 
KAANA RIZQUNAA BA'IIDAN FAQORRIBHU WA INKAANA RIZQUNAA QOLIILAN FA 
AKTSIRHU WA IN KAANA RIZQUNAA
'AASIRON
 FAYASSIRHU LANAA WALTANQULNAA ILAIHI HAITSU MAA KAANA BIFADHLIKA 
WUJUUDIKA WA-KAROMIKA BIROHMATIKA YAA ARHAMARROOHIMIIN.
(Artinya:
 "Ya, Tuhan kami, turunkanlah atas kami makanan dari langit di mana 
(makanan itu) menjadi hari raya bagi orang-orangyang mendahului dan 
mengakhiri kami, serta menjadi bukti dari-Mu. Engkau adalah sebaik-baik 
Dzat yang memberi rezki. Ya, Allah, apabila rezki kami berada di atas 
langit maka turunkanlah ia untukkami; dan apabila berada diperut bumi 
maka keluarkanlah ia untuk kami; dan apabila berada di dalam air atau di
 dasar lautan maka munculkan-lah ia untuk kami; dan apabila rezki kami 
itu jauh, maka dekatkanlah; apabila rezki kami itu sedikit maka 
perbanyaklah; dan apabila rezki kami itu sulit, maka mudahkanlah 
untukkami. Dan hendaknyamemboyongkami kepada rezki tersebut di mana ia 
berada, dengan kemurahan dan kemuliaan-Mu serta rahmat-Mu w.ahai dzat 
yang paling penyayang).
Lakukanlah
 Amalan Doa Maha Rezeki ini setiap hari secara tekun dan rutin sampai 
Anda benar-benar mendapat pertolongan Allah. Doa ini juga baik diamalkan
 ketika Anda sudah sukses. Insya Allah Anda tidak akan kembali terpuruk 
dalam kesulitan ekonomi.
Demikian
 panduan amalan Doa Maha Rezeki, semoga Mbak senantiasa mendapatkan 
pertolongan dari Allah. Khusus mengenai suami, saran saya bertawakallah 
kepada Allah. Sepertinya sulit untuk berharap dia akan kembali. Semoga 
bermanfaat…!
  
http://bldirgantara.blogspot.com