Yakuza Menyerbu Indonesia




(dok/AP Photo)
Kalau diperkirakan, sekarang ada sekitar 50 Yakuza yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Makin ketatnya peraturan mengenai sindikat kejahatan di Jepang membuat banyak anggota geng Yakuza menyebar ke berbagai negara lain.
 
Indonesia menjadi salah satu incaran, mengingat lemahnya penegakan hukum. Tapi kalau mau berpikir sehat, lebih baik tidak terlibat sama sekali dengan kelompok yang sumber penghasilannya dari berbagai unsur kejahatan ini.

“Kalau diperkirakan, sekarang ada sekitar 50 Yakuza yang melakukan kegiatan di Indonesia,” papar Richard Susilo, pengamat masalah Yakuza di Indonesia.

Richard yang bertandang ke harian Sinar Harapan, Senin (12/3), memaparkan, para Yakuza tersebut bisa melakukan kegiatan apa saja di Indonesia.
 
Namun, yang paling dominan mereka terjun di bisnis kontraktor. Selain itu, mereka juga terlibat dalam bisnis investasi dan finansial, klub malam dan hiburan, perjudian, pornografi, dan narkoba.

Mereka bisa menyelusup dengan berbagai cara. Namun, biasanya enggan memiliki surat investor Penanaman Modal Asing (PMA).
 
Sebaliknya, mereka memilih untuk menggunakan investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Caranya dengan menikahi orang setempat. Dengan demikian, alur transaksi uang tidak melalui rekening orang yang bersangkutan langsung.

Menurut Richard, perputaran uang bisnis Yakuza ini sangat luar biasa. Dari berbagai situs yang ada, diberitakan untuk gaji seorang pemimpin kelompok Yakuza bisa mencapai nilai US$ 1 juta per bulan.
 
Belum lagi pembagian keuntungan untuk para anggota. Maka pantas bila mantan Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihiko Noda dipecaya pernah menerima dana 2 juta yen, atau sekitar Rp 221 miliar dari para Yakuza tersebut.

Bagaimana tidak, kalau tiap perusahaan yang dibantu operasionalisasinya oleh Yakuza, setidaknya kini ada ribuan perusahaan Jepang yang terjerat oleh Yakuza, dan paling tidak memberikan upeti 40 juta yen, atau sekitar 4,6 miliar.
 
Belum lagi dari bisnis perjudian, yang setiap hari mungkin bisa dapat 100 juta yen atau sekitar Rp 11, 7 miliar (kurs Rp 117 per yen) hasil setoran berbagai pihak. Saat ini, aset Yakuza mencapai 1,3 triliun yen.
Makin Sulit

Namun, putaran uang tersebut menjadi makin sulit setelah pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang (UU) mengenai Sindikat Kejahatan.
 
Salah satunya adalah kewajiban denda bagi pemimpin kelompok, bila salah satu anggota kelompok terlibat kegiatan kriminal. Hanya, peraturan itu kini sudah bisa disiasati dengan cara mengeluarkan surat pengunduran diri sebagai anggota kelompok Yakuza, sebelum kejadian kriminal berlangsung.

Selain itu, pemerintah Jepang juga mengetatkan informasi mengenai transaksi senilai lebih dari 1 juta yen sehingga banyak transaksi pencucian uang dari kelompok ini menjadi makin sulit. Lalu bagaimana cara untuk memutihkan uang-uang kotor tersebut? Salah satu cara melalui opsi investasi.
 
Di Indonesia, kedatangan seorang investor bisa jadi bak seorang dewa. Indikasinya kebanyakan anggota Yakuza datang dan mencuci uang di Indonesia dengan berinvestasi di berbagai sektor bisnis, termasuk pertambangan, kehutanan, klub malam, atau lainnya.

Untuk menelusuri berbagai hal mengenai Yakuza, baik di Jepang maupun internasional, termasuk Indonesia, Richard juga telah meluncurkan situs internet bernama www.yakuza.in.
 
Dalam situs tersebut dijelaskan berbagai hal mengenai kelompok Yakuza, mulai dari sejarah hingga sepak terjang yang telah dilakukan. Repotnya, kalau sudah terbelit masalah dengan Yakuza ini, nyawa bisa menjadi taruhannya.

Ada banyak cara yang kemudian diberikan Richard, untuk tidak terlibat dalam bisnis bersama para Yakuza ini. Termasuk dengan menjauhi diri dengan mereka, ketika kita menerima info keberadaan dia sebagai salah satu anggota Yakuza. Bisa juga dengan segera memutus hubungan bisnis secepatnya, sebelum terlambat.

“Tapi jangan bayangkan mereka seperti preman di Indonesia. Kebanyakan mereka berpakaian rapi dan berpikiran maju. Bila ada masalah, mereka tidak akan menyasar langsung ke kelompok preman tertentu yang membuat kekacauan, melainkan membayar preman lain sebagai lawan,” katanya.
 
Hal itu dilakukan mereka karena tidak mau mengotori tangan. Lalu mereka juga tahu orang di Indonesia bisa dibayar murah untuk melakukan apa saja. Tapi kalau dipikir, seperti pemeras yang diperas lagi.
Sumber : Sinar Harapan
 
shnews.co